Senin, 23 April 2012

Radio Sebagai Media Imajinasi


“Sekali di udara tetap di udara” ujar Pak Sukma dengan lantang kepada peserta Diklat Jurnalistik, Sabtu (7/10). Jurnalis siaran radio merupakan garis besar pembahasan di agenda pertemuan diklat kali itu. Bapak yang berprofesi sebagai Manager operasional Nirwana Group ini berhasil menarik perhatian barisan mahasiswa baru dengan celotehan beliau.
Seorang jurnalistik tentu identik dengan profesi si pemburu berita, padahal ada banyak profesi dari bagian jurnalis, salah satunya seorang penyiar. Penyiar ibarat penyanyi yang mengalunkan lirik lagu, sedangkan penyiar adalah pembaca yang menyuarakan tulisan. Sebenarnya penyiar hanya lah pembaca, namun bukan pembaca biasa. Pembaca yang harus mampu mengekspresikan mimik suaranya, tidak hanya terpatok pada naskah semata.
Bukan cuman bakat yang diperlukan untuk menjadi seorang broad cash, tapi juga minat. “Tidak semua penyiar mampu menjadi pembaca informasi, apalagi penyiar yang tak punya minat” ujar Pak Sukma.
Banyak ilmu yang dituangkan oleh Pak Sukma ini, pemaparan dari segi intonasi, kemampuan membaca, keterampilan penyiar,wawasan dan penguasaan yang di perlukan untuk menjadi seorang jurnalistik di bidang radio.
Penyiar haruslah menjadikan media siarnya yaitu radio menjadi media imajinasi. “Radio adalah Theater Offline” kiasnya. Pak  Sukma menambahkan bahwa radio bukanlah media keluarga melainkan media personal, “Radio itu komunikasi personal, jadi sasaran siar kita adalah semua orang. Namun juga harus memperhatikan bahasa dari tutur kata, gunakan bahasa rakyat, kita harus membumi agar terkesan dekat dengan pendengar kita”. Penyiar identik dengan kiasan “Wajah menipu suara merayu” selanya di tengah penjelasan.
Pertemuan kali itu di tutup dengan canda dari Pak Sukma yang memberitahukan cara berhitung orang Banjarmasin “Satu batu....Sembilan bulan sepuluh waluh” semua mahasiswa sentak tertawa dibuatnya. (Yeni Fitria_LPM JK FE Unlam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar